Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh
Puji syukur kepada Allah swt, Shalawat buat Rasulullah saw.
Selaku orang Minangkabau, kita sering
berbangga-bangga dengan pendidikan ala surau, kita ceritakan terhadap anak cucu
kita, bagaimana lembaga pendidikan surau
masa dahulunya mampu melahirkan orang-orang besar, pendidikan surau yang tidak
terikat dengan kurikulum formal, tapi mampu membentuk karakter kejiwaan. Dari sana
lahir masyarakat Minangkabau yang jauh dari buta baca al-Quran, bahkan mereka
bukan hanya pandai baca al-Quran, kitab kuning sebagai kitab klasik yang tidak
berbaris itu, dapat dipahami walaupun ia bukan seorang ulama. Atinya pemahaman
beragama orang Minangkabau bukan hanya dikuasai oleh ulama saja, namun jauh pada
elemen masyarakat yang dikatakan awam sekalipun. Bisa jadi, ada orang
Minangkabau dahulu yang tidak pandai membaca tulisan latin, tapi mereka fasih
dalam melantunkan ayat suci al-Quran.
Siapa yang berperan penting dalam proses
pembelajaran tersebut ? Kita menyebutnya Buya. Sosok yang keberadaannya menjadi
panutan, tempat bertanya perihal syara’ dan penyuluh kala kegelapan. Mereka
sosok guru yang mengabdikan diri untuk membina agama di Surau. Orang-orang yang
belajar kepada Buya tak perlu bingung memikirkan bagaimana biaya pendidikan untuk
membayar Buya, cukup memberikan beras ala kadarnya. Satu hal, sang Buya
bukanlah menggantungkan hidupnya dengan biaya pendidikan yang diberikan para
penuntut ilmu Sosok Buya memiliki mata pencaharian sendiri yang dapat menopang
hidup. Pengajaran yang mereka tunaikan di Surau tak lebih dari pada upaya
membangun jiwa umat agar hidup beragama. Rangkaian itu membuat proses
pendidikan tidak diribetkan dengan urusan masalah biaya, sehingga pendidikan
berjalan penuh keikhlasan dan ketawadhu’an.
Demikianlah cerita-cerita tentang
hebatnya surau di Minangkabau masa lalu.
Seiring
perputaran waktu dan berubahnya zaman, pendidikan surau mulai beralih. Konsep
pelaksanaan pendidikan dilembagakan dengan merujuk sistem modren. Para penunut
ilmu tidak lagi belajar dengan cara halaqah, tapi dalam bangunan permanen yang
dikotak-kotakkan menurut lokal sesuai dengan tingkat usia. Bahkan diprogram dengan kurikulum dengan
tenaga pengajar yang memiliki keahlian dalam bidangnya masing-masing. Biaya
pendidikanpun ditentukan.
Tak ada yang salah dalam sebuah perubahan
asal disikapi dengan cara yang bijak. Namun
jika ditilik secara seksama, dan itu jika kita bersedia sedikit
merenung, pengaruh pendidikan surau yang menitik beratkan murni pendidikan
keagamaan sudah tampak mulai pudar. Kegemaran sebagian umat hari ini lebih mengedepankan pendidikan
keduniaan dan mulai melupakan pendidikan agama mereka. Mereka tetap mengaku
sebagai muslim, namun kemusliman mereka hanya sebatas cukup tahu tanpa bersedia
mendalami dan menguasainya secara mendalam. Lihatlah perhatian terhadap lembaga
pendidikan agama, lembaga pendidikan agama lebih berada pada posisi nomor
sekian. Sementara lembaga pendidikan lain yang tidak memprioritaskan pendidikan
agama menjadi incaran. Orang tua lebih cendrung mensuplai biaya pendidikan
anaknya dengan biaya yang tak tanggung-tanggung untuk pendidikan keduniaan
mereka. Tapi untuk pendidikan agama anak mereka, kalaupun masih dibiayai hanya
ala kadar belaka.
Lihat saja sebuah lembaga pendidikan yang
sekarang tampak masih mempertahankan aroma surau walaupun terdapat beberapa perubahan, yakni Madrasah Diniyah
Awwaliyah ( MDA ) atau DTA, lembaga pendidikan tingkat awal setingkat SD yang
murni mengajarkan nilai-nilai agama, disana anak-anak kita diajarkan membaca
al-Quran, dari tidak mengenal huruf
hingga mampu membaca al-Quran secara fasih, mereka diperkenalka
dasar-dasar keagamaan ibadah, tata cara shalat dan bacaannya, lafaz-lafaz
zikir, doa-doa, tata cara penyelenggaraan jenazah hingga menguasai bacaannya,
menghafal ayat-ayat pendek yang berperan besar untuk diamalkan dalam shalat,
hingga hukum-hukum syara’ dan akhlakul karimah. Pertanyaannya, adakah lembaga
pendidikan tersebut mendapat perhatian serius ? Tak usahlah disebutkan terlalu
panjang lebar tentang perihnya kondisi lembaga pendidikan ini. Cukup beberapa
hal sebagai bahan renungan, bahwa kita mungkin tak pernah peduli bagaimana
lembaga pendidikan tersebut dibangun secara terseok-seok, hasil infak beberapa
orang yang masih memiliki nurani tentang pentingnya pendidikan agama, dan upaya
orang-orang yang merasa prihatin akan keberlangsungan pendidikan tersebut.
Jangan menyangka orang yang berupaya membangun madrasah ini adalah orang-orang
yang memiliki kecukupan hidup sehingga mereka mampu menyuplai dana pendidikan
dengan harta sendiri. Tapi mereka menapak jenjang rumah orang, masuk kantor keluar
kantor meminta sumbangan, sedikitpun mereka tidak mendapat bagian dari usaha
mereka, hanya saja semoga keikhlasan mereka itu dibalas dengan kebaikan yang
banyak disisi Allah swt. Ironisnya, upaya membangun pendidikan agama yang
berada pada titik nadir ini, mendapat cemooh pula dari beberapa kalangan yang
menganggap rendah upaya tersebut dengan anggapan perbuatan tersebut
meminta-minta yang memalukan. Sementara mereka yang mencomooh itu, adakah
solusi yang diberikan ?
Belum lagi keperihan yang sulit
diungkapkan tentang kondisi guru yang mengajar pada lembaga pendidikan ini, dengan gaji yang tak
layak disebut gaji, beberapa ratus ribu rupiah untuk sebulan, dengan jam
mengajar yang cukup padat, tiap hari dalam satu minggu, mereka rata-rata berada
pada kalangan orang papa dan janda-janda, tapi karena semangat dan keinginan
yang kuat untuk membangun generasi sehingga masih mampu bertahan dengan segala
keperihan tersebut. Pernahkah kita mendengar mereka menuntut banyak pada pemerintah
? Berdemo ? Atau meminta lebih pada wali murid ? Kesediaan orang tua untuk
memasukkan anaknya pada lembaga pendidikan agama ( belajar mengaji ) saja sudah
merupakan anugrah luar biasa.
Ini hanya sekelumit tentang kondisi lembaga
pendidikan Islam di Minangkabau yang masih mempertahankan nilai-nilai
pendidikan surau walaupun bentuk kelembagaannya tidak lagi persis seperti
surau. Namun substansi pendidikannya masih memperjuangkan materi-materi
pendidikan surau secara umum, yakni murni belajar agama dan pembinaan mental.
Jika berbicara hasil, bagaimana hasil
yang ditelurkan lembaga ini, cukup lihat saja di lapangan, adakah kita temukan
anak-anak yang mengecap pendidikan di lembaga ini yang tidak pandai mengaji ?
Tidak pandai shalat dan tidak mengerti bacaan shalat ? Tidak hafal lafaz-lafaz
zikir dan doa ? Bahkan sekolah lanjutan, seperti SLTP hanya menerima barang
jadi saja tentang jiwa keberagamaan anak didik. Tak terbayangkan betapa
sulitnya guru SLTP mengajar pendidikan agama pada anak didik jika mereka tidak
mengecap pendidikan di MDA/DTA. Sebab kurikulumnya bukan lagi merangkai huruf
dan memperkenalkan bacaan, tapi mengarah pada pemahaman dan upaya pendalaman
materi. Sehingga jangan heran kalau ditemukan di lapangan, guru SLTP marah pada
muridnya, “ Mambaco al-Quran sajo ndak pandai, ndak masuak mangaji dulu ? ”
Sekelumit deskripsi tersebut kiranya
menjadi bahan renungan bagi kita, yang selama ini sering kita temukan bagaimana
upaya orang yang peduli akan pendidikan, berbagai macam beasiswa dan bantuan
dengan jumlah besar mereka keluarkan untuk peningkatan pendidikan, tapi secara
umum upaya tersebut berorientasi pada lembaga pendidikan formal yang bersifat
umum. Untuk sekolah mengaji ( MDA/DTA ) nampaknya belum menjadi perhatian
serius. Kondisi lembaga yang memprihatinkan, terutama sekali kondisi guru yang
jauh dari perhatian. Ketahuilah … jika urusan agama telah dianggap remeh dan
mulai dilupakan. Tidakkah kita takut akan langkanya ulama dimasa yang akan
datang di wilayah yang bangga dengan falsafah “ Adat Basandi Syara’, Syara’
Basandi Kitabullah ” ini ?
Hal ini bukan berarti mengeluhkan
keadaan, namun lebih kepada untuk menggugah nurani kita agar mampu melihat
lebih tajam, menyaksikan dengan mata hati, tentang sesuatu yang sangat krusial
tapi luput dalam pandangan kita. Tentang kelangsungan agama yang kita anut.
Wallahu A’lam.
Assalaamu'alaikum Warahmaullaahi Wabarakaatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar